Perlakuan Zakat dalam Pajak Penghasilan

Direktorat Jenderal Pajak dalam hal ini Direktorat Peraturan Perpajakan II tanggal 19 Desember 2014 menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) tentang Perlakuan Zakat dalam Pajak Penghasilan. Langkah yang dilakukan Ditjen Pajak ini patut mendapat apresiasi karena memiliki nilai positif guna menghimpun masukan dan usulan dari stake-holder (pemangku kepentingan) dalam rangka revisi dan penyempurnaan peraturan perpajakan secara berkala yang dilakukan pemerintah.

Dalam acara diskusi yang dipandu Haris Faisal dari Direktorat Perpajakan II, saya selaku Wakil Sekretaris BAZNAS dan mewakili Kementerian Agama hadir sebagai pembicara tunggal untuk memaparkan usulan BAZNAS tentang zakat sebagai kredit pajak dan tinjauan sistem pembayaran zakat dalam administrasi perpajakan. Menurut hemat saya, penyempurnaan regulasi dan mekanisme perlakuan zakat dalam pajak penghasilan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak.

Saat ini umat Islam tidak lagi relevan bicara zakat dan pajak sebagai opsional, karena tidak terdapat dalil hukum agama yang menyatakan apabila zakat telah dibayar maka kewajiban pajak menjadi gugur atau bila pajak telah dibayar maka zakat menjadi gugur. Kesimpulan Seminar Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Zakat dan Pajak tahun 1990 menyatakan warga negara Indonesia yang beragama Islam berkewajiban mengeluarkan zakat sebagai realisasi pelaksanaan perintah agama dan berkewajiban pula membayar pajak sebagai realisasi ketaatan kepada ulil amri/pemerintah yang juga diwajibkan oleh agama. Islam memberi wewenang kepada ulil amri/pemerintah untuk mengelola zakat dan pajak.

Selama ini penerimaan pajak di negara kita lebih banyak mengandalkan penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh) badan, sedangkan porsi penerimaan PPh orang pribadi masih relatif kecil atau konon hanya 0,4 persen. Di negara lain, seperti Amerika Serikat penerimaan PPh orang pribadi mencapai 47 persen dari total penerimaan pajak negara tersebut. Pemungutan PPh di Indonesia dilakukan dengan menganut self assesment system, yakni setiap wajib pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung sendiri pajaknya. Hasil dari penghitungan pajak mendapatkan pajak yang harus disetor. Ketentuan yang sama juga berlaku dalam penghitungan zakat, dimana hasil penghitungan zakat mendapatkan zakat yang harus disetor kepada Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) ataupun Lembaga Amil Zakat (LAZ). Sama dengan pajak penghasilan, zakat penghasilan adalah kewajiban zakat yang dikaitkan dengan pekerjaan dan profesi.

Negara mengakomodir perlakuan zakat sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak atau Penghasilan Bruto, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan yakni Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2010 serta turunannya dalam Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan/Edaran Dirjen Pajak. Menurut ketentuan perundang-undangan, zakat atas penghasilan yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dapat dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak.

Dalam pasal 1 PP No 60 Tahun 2010 tentang Zakat Atau Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya Wajib Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto, meliputi: (a) zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau (b) sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah. Dalam implementasi di lapangan, aturan sebagaimana dimaksud belum memberi dampak yang signifikan bagi kemajuan dunia perzakatan di Tanah Air.

Persoalan lain yang dihadapi ialah ketika wajib pajak diberikan kepercayaan menghitung sendiri PPh-nya, sedangkan Direktorat Jenderal Pajak tidak memiliki informasi tentang pajak penghasilan wajib pajak, kekayaan, dan transaksi, maka Ditjen Pajak mengalami kendala untuk bisa melakukan pengawasan menyangkut kebenaran laporan SPT Tahunan yang diberikan. Oleh karena itu, sebagai agenda jangka pendek kami mengusulkan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan penyempurnaan sistem pembayaran zakat dalam administrasi perpajakan. Perlakuan zakat sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak untuk karyawan yang pajaknya dipotong perusahaan pada saat mengajukan restitusi pajak atas zakat yang dibayarkan supaya disederhanakan proses dan mekanismenya.

Saat ini, kalau seorang Wajib Pajak (WP) mengisi SPT tahunan dengan memasukkan pembayaran zakat, maka SPT-nya akan mengalami kelebihan bayar, dan kalau kelebihan bayar oleh Direktorat Jenderal Pajak dilakukan audit, dan itu yang sebagian besar menimbulkan keengganan bagi WP karena nilai restitusinya tidak seberapa. Jadi banyak yang tidak memasukkan zakat pada SPT-nya. Salah satu solusi yang diusulkan, misalnya di SPT PPh 21 yang dibuat oleh pemberi kerja dimasukkan unsur zakat yang dipotong oleh pemberi kerja. Formula demikian akan memberi dampak positif, yaitu WP tidak akan kelebihan bayar dalam SPT tahunannya, dan di sisi lain instansi/ perusahaan diharapkan akan menjadi UPZ (Unit Pengumpul Zakat) BAZNAS.

Di samping itu, sejalan dengan langkah mendukung transparansi data wajib pajak, kami mengusulkan pembayaran zakat dengan sistem administrasi perpajakan dan penyediaan fasilitas di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk pemungutan zakat melalui pemanfaatan KPP sebagai konter zakat BAZNAS. Sistem pembayaran zakat perlu dirancang sedemikian rupa serta disinergikan dengan sistem pembayaran pajak. Walaupun kita belum bisa mencapai bentuk ideal, yaitu zakat sebagai pengurang pajak (tax credit) seperti di Malaysia, tetapi secara realistis dapat diupayakan menata kebijakan perpajakan yang mengakomodir kepentingan 88 persen warga negara Indonesia pemeluk agama Islam. Wajib pajak yang muslim mungkin tidak merupakan pembayar pajak terbesar di negara kita saat ini, tetapi mereka adalah populasi wajib pajak dalam jumlah terbanyak.

Konsep pengumpulan zakat dengan sistem administrasi perpajakan yang pertama kali dilontarkan oleh Drs. H.M. Djamal Doa (alm) adalah alternatif yang perlu dikaji selaras dengan reformasi sistem perpajakan. Masukan dan usulan yang saya sampaikan dalam FGD telah ditampung oleh Direktorat Jenderal Pajak yang berkompeten untuk mengkaji lebih lanjut, baik dari sudut regulasi maupun dari sudut teknis.

Oleh M. Fuad Nasar
Wakil Sekretaris BAZNAS

Sumber : pusat.baznas.go.id | 2 Januari 2015
http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/perlakuan-zakat-dalam-pajak-penghasilan/





Baca Juga Artikel Terkait :


Advertisement


0 Response to "Perlakuan Zakat dalam Pajak Penghasilan"

Komentar Anda

Silakan tuliskan komentar anda di sini. Mohon untuk mencantumkan identitas minimal nama Anda